Perubahan-perubahan sosial yang cepat (rapid sosial change) sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi telah mempengaruhi perilaku, nilai-nilai moral, etika, dan gaya hidup (value sistem and way of life).
Keberadaan hawa nafsu disamping memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, juga dapat melahirkan madlarat (ketidaknyamanan, atau kekacauan dalam kehidupan, baik personal maupun sosial). Kondisi ini terjadi apabila hawa nafsu tidak dikendalikan atau dikontrol, karena memang sifat yang melekat pada hawa nafsu adalah mendorong (memprovokasi) manusia kepada keburukan atau kejahatan (dalam Psikologi Belajar Agama, 2003).
Menurut Fachrurozi (dalam Jawa Pos, 2004) kegilaan masyarakat saat ini adalah personifikasi atas kegilaan yang dialami sebagai implikasi dari modernitas, bahwa modernitas, disamping melahirkan kemajuan dalam berbagai aspek (teknologi informasi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya), ternyata juga melahirkan kegilaan atau gangguan kejiwaan. Diharapkan setiap individu mampu mengontrol diri terhadap setiap perubahan yang terjadi.
Tindakan-tindakan tidak terkontrol sering dikaitkan dengan remaja, karena seringkali bentuk perkelahian dilakukan oleh para remaja, sehingga perkelahian antar remaja sudah menjadi fenomena yang biasa di masyarakat luas terutama di kota-kota besar, perkelahian ini biasanya dipicu oleh masalah-masalah yang sepele, seperti bersenggolan di jalan, atau saling pandang yang ditafsirkan sebagai bentuk menantang, dan biasanya berakhir dengan perkelahian, perkelahian antar remaja pada awalnya hanya melibatkan dua individu kemudian berkembang menjadi perkelahian antar kelompok.
Menurut Lewin (dalam Winarno, 2003)
kondisi tersebut dikarenakan dalam kelompok terdapat sifat interdependen antar
anggota dan kondisi seperti itu berpeluang menjadi konflik SARA, dikarenakan
Indonesia terdiri berbagai macam suku, agama, ras, yang berbeda-beda, sehingga
individu akan merasa cemas, tidak aman, dan mudah tersulut emosi bila kontrol
diri individu kurang. Oleh karena itu, kontrol diri diperlukan untuk mengontrol
emosi yamg berasal dari dalam dan luar individu sebagai bentuk sosialisasi yang
wajar.
Menurut Drever, kontrol diri adalah kontrol atau
pengendalian yang dijalankan oleh individu terhadap perasaan-perasaan,
gerakan-gerakan hati, tindakan-tindakan sendiri, sedangkan Goleman (dalam
Sarah, 1998) mengartikan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk
menyesuaikan dan mengendalikan dengan pola sesuai dengan usia. Bander (dalam
Sarah, 1998) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam
mengendalikan tindakan yang ditandai dengan kemampuan dalam merencanakan hidup,
maupun frustasi-frustasi dan mampu menahan ledakan emosi. Masa-masa remaja
ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat
mengkontrol dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut
emosinya atau tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga
sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang dilakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar