Terumbu karang adalah ekosistem perairan tropis yang memiliki fungsi yang sangat penting baik bagi
organism yang membangun ekosistem ini ataupun ekosistem yang ada disekitarnya
yaitu ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove (Suharsono, 1999).
Terumbu
merupakan endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang
terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporia
= Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan
organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Karang terbagi
atas dua kelompok, yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang hermatipik dapat
menghasilkan terumbu sedangkan yang ahermatipik tidak. Karang ahermatipik
tersebar diseluruh dunia, tetapi karang hermatipik hanya ditemukan di daerah
tropik. Perbedaan yang mencolok antara kedua karang ini adalah bahwa di dalam
jaringan karang hermatipik terdapat simbiosis tumbuhan bersel satu yang
dinamakan zooxanthellae, sedangkan
karang ahermatipik tidak memiliki simbiosis ini (Nybakken, 1992).
Terumbu karang
khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai
pelindung pantai dari hempasan ombakdan arus kuat berasal dari laut. Selain
itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal),
tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai biota yang hidup disekitar
atau berasosiasi dengan terumbu karang (Bengen, 2004; Bruke. 2002).
Terumbu karang merupakan ekosistem penting di wilayah
pesisir karena merupakan sumberdaya perairan yang bernilai ekonomis tinggi
karena kontribusinya dalam perikanan. Kehadiran terumbu karang selain berfungsi
sebagai area tempat berkembang biak dan tempat asuhan biota laut juga berfungsi
sebagai penahan ombak dan lokasi wisata bahari (Suciati dan Arthana, 2008). Dalam beberapa dekade terakhir, kehadiran terumbu karang
banyak mendapatkan tekanan, baik oleh alam maupun gangguan manusia (Fonseca et al., 2010; Cortez and Jeminez, 2003).
Menurut Rudianto (2007) di Indonesia diperkirakan hanya 5,23% kondisi terumbu karang dalam
keadaan sangat baik sedangkan 31,17% dalam kondisi rusak. Oleh karena itu, apabila tidak
diantisipasi maka kekayaan dan potensi terumbu karang akan hilang. Sebagian besar penyebab kerusakan terumbu karang
dikarenakan berbagai kegiatan pemanfaatan oleh manusia secara langsung maupun
secara tidak langsung. Kegiatan seperti penambangan karang baik untuk keperluan
rumah tangga maupun industri, penangkapan ikan dengan menggunakan bahan
peledak, racun sianida, serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan seperti bubu, muroami dan sebagainya merupakan penyumbang terbesar
terjadinya kerusakan terumbu karang di Indonesia.
2. Biologi karang
Karang merupakan nama lain dari
ordo Scleractinia yang memiliki jaringan batu kapur yang keras. Karang
dapat hidup secara berkoloni maupun soliter. Karang sebagai individu terdiri
dari polip (bagian yang lunak) dan kerangka kapur (bagian yang keras). Polip
karang mulutnya terletak di bagian atas dan juga berfungsi sebagai anus.
Jaringan tubuh karang terdiri dari ektoderm, mesoglea dan endoderm (Veron,
1986).
Hewan
karang batu pada umumnya merupakan koloni yang terdiri atas banyak individu
berupa polip yang bentuk dasarnya seperti mangkok dengan tepian berumbai-umbai
(tentakel). Ukuran polip ini umumnya sangat kecil (beberapa mm) tetapi ada pula
yang besar hingga beberapa puluh sentimeter 8 seperti pada jenis Fungia. Setiap
polip tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka (Nontji, 1993).
Menurut
Suharsono (1984) karang merupakan kelompok organisme yang udah mempunyai sistem
saraf, jaringan otot dan reproduksi sederhana, akan tetapi telah berkembang dan
berfungsi secara baik. Organ-organ reproduksi karang berkembang di antara
mesenteri filamen dan pada saat-saat tertentu organ tersebut terlihat nyata
sedang pada waktu lain menghilang, terutama untuk jenis-jenis karang di wilayah subtropis.
Sebaliknya, untuk karang yang hidup di daerah tropis, organ reproduksi dapat
ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksi berlangsung sepanjang tahun
dengan puncak reproduksi dua kali dalam setahun. Hewan
karang dapat melakukan reproduksi baik secara
seksual maupun aseksual. Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan
cara fragmentasi, pelepasan polip dari skeleton dan reproduksi aseksual larva.
Kecuali reproduksi aseksual larva, produk dari yang lainnya menghasilkan
pembatasan sacara geografi terhadap asal-usul terumbu karang dan sepanjang
pembentukan dan pertumbuhan koloni dapat melangsungkan reproduksi seksual.
Dalam hal reproduksi secara seksual, gametogenesis akan berlangsung di dalam
gonad yang tertanam dalam mesenterium. Kejadian ini dapat berlangsung secara
tahunan, namun dapat juga musiman, bulanan atau tidak menentu. Konsekuensi dari
cara reproduksi ini adalah pemijahan gamet-gamet untuk fertilisasi eksternal
dan perkembangan larva planula, atau pengeraman larva planula untuk
dilepaskan
setelah berlangsung fertilisasi internal (Richmond and Hunter, 1990).
Gambar 1.
Proses reproduksi karang secara seksual ( Nybakken, 1992)
Reproduksi
aseksual umumnya dilakukan dengan cara membentuk tunas yang akan menjadi
individu baru pada induk dan pembentukan tunas yang terus-menerus merupakan mekanisme untuk
menambah ukuran koloni, tetapi tidak untuk membentuk koloni baru (Nybakken, 1992).
Gambar
2. Proses reproduksi karang secara aseksual (Barnes, 1987).
Pertunasan ada dua
macam yaitu pertunasan intratentakuler dan pertunasan ekstratentakuler (Suharsono, 1984). Pertunasan intratentakuler
ialah pembentukan individu baru di dalam
individu lama yaitu dimana mulut baru terbentuk di dalam lingkar tentakel individu lama melalui invaginasi
lempeng oral, sedangkan pertunasan
ekstratentakuler ialah pembentukan individu baru di luar individu lama yaitu dimana koralit baru tumbuh di-coenosarc
diantara koralit dewasa.
Cara lain dari reproduksi aseksual pada karang ialah
dengan fragmentasi yaitu dimana bagian dari koloni karang yang terpisah dari
induk disebabkan oleh faktor fisik (arus dan gelombang) atau faktor biologi
(predator) dapat beradaptasi di lingkungan yang baru hingga tumbuh dan
membentuk koloni yang baru.
Suharsono,
(1984)
menyatakan bahwa patahan-patahan karang yang terpisah dari koloninya tidak
selalu diikuti dengan kematian pada jaringannya, tetapi dapat hidup dan tumbuh pada
substrat yang baru, dan jika kondisinya cocok, dari patahan-patahan karang tersebut bisa
terbentuk koloni yang baru.
Menurut Nybakken (1988) dalam Sukarno (2001) menyatakan formasi terumbu karang pada umumnya
dapat dibagi atas 3 golongan, yaitu: 1). Terumbu karang pantai (fringing reefs). Terumbu karang pantai berkembang di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Terumbu karang ini tumbuh ke atas
dan ke arah laut. Pertumbuhan yang baik terdapat di bagian yang cukup arus, sedangkan
di antara pantai dan tepi luar terumbu, karang cenderung mempunyai pertumbuhan
yang kurang baik, bahkan banyak yang mati karena sering mengalami kekeringan,
2). Terumbu karang penghalang (barrier reef).
Terumbu karang tipe penghalang ini terletak di berbagai
jarak kejauhan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk
pertumbuhan karang batu (40-70 meter). Umumnya terumbu karang tipe ini
memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar seakan-akan merupakan
penghalang bagi pendatang dari luar, dan 3). Terumbu karang cincin (atoll). Terumbu karang ini merupakan bentuk cincin yang melingkari goba. Kedalaman
goba di dalam atoll rata-rata 45 meter. Atol bertumpu pada dasar laut yang
dalamnya di luar batas kedalaman karang batu penyusun terumbu karang dapat
hidup.
3. Fungsi
Terumbu Karang
Terumbu karang sebagai benteng pelindung dari hempasan
ombak, arus dan pasang surut bagi pulau-pulau dan berbagai ekosistem pantai
lainnya seperti padang lamun dan mangrove (Suharsono, 1996)
Menurut Sukarno dkk.(1981);
Nontji (1993); dan Suharsono, (1996) menambahkan bahwa fungsi alami terumbu
terumbu karang adalah (a) sebagai lingkungan hidup karena merupakan tempat
tinggal dan tempat berlindung, tempat mencari makan serta berkembang biak bagi
biota yang hidup di terumbu karang, (b) sebagai pelindung fisik terhadap pantai
dari pengaruh arus dan gelombang karena terumbu karang sebagai pemecah ombak
dan penahan arus, (c) sebagai sumberdaya hayati karena menghasilkan beberapa
produk yang memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang,
alga, teripang, dan (d) sebagai sumber keindahan karena menampilkan pemandangan
yang sangat indah dan jarang dapat ditandingi oleh ekosisitem lain.
Ekosistem
terumbu karang dapat dikatakan adalah salah satu daya dukung sumberdaya yang
terdapat diwilayah pesisir dan lautan. Menurut Adriano. (2004), ekosistem terumbu karang memiliki fungsi ekologis
diantaranya: (1) nutrien bagi biota perairan laut, (2) pelindung fisik (dari gelombang), (3) tempat
pemijahan, (4) tempat bermain dan asuhan bagi biota laut, sedangkan fungsi
ekonomi sebagai habitat dari ikan karang, udang karang, algae, teripang, dan
kerang mutiara terumbu karang juga berfungsi sebagai tujuan wisata dan
penelitian.
4. Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang
dinamis, mengalami perubahan terus menerus dan tidak tahan terhadap
gangguan-gangguan alam yang berasal dari luar terumbu. Adapun faktor
fisika dan kimia yang membatasi pertumbuhan terumbu karang antara lain
: Syarat utama bagi karang untuk tumbuh dan berkembang
secara aktif adalah keberadaan cahaya (Nybakken, 1997). Jika karang tidak
mendapat cahaya yang cukup (entah karena meningkatnya kekeruhan air atau
meningkatnya pengendapan yang menghalangi cahaya masuk ke dalam kolom air),
karang akan berhenti tumbuh atau dapat mati. Cahaya dibutuhkan dalam proses
fotosintesis zooxanthellae dalam
karang. Cahaya juga meningkatkan produksi oksigen, yang akan merangsang
metabolisme karang untuk meningkatkan pengendapan kalsium karbonat dan juga
pertumbuhan karang itu sendiri. Karang mensyaratkan kedalaman air dimana
intensitas cahaya sedikitnya 1 – 2% dari intensitas yang ada di permukaan. Ketergantungan karang dengan cahaya juga membatasi
kedalaman perairan dimana karang dapat ditemukan.
Gambar 3.
Faktor-faktor fisik yang bekerja pada terumbu karang (Nybakken, 1992)
Faktor pembatas lainnya
bagi pertumbuhan karang dan distribusinya adalah suhu. Terumbu karang umumnya
dominan pada wilayah yang berada pada 25o lintang utara hingga 25o
lintang selatan dimana suhu perairan umumnya konstan sepanjang tahun
(Hoegh-Guldberg, 1999). Nybakken (1997) menyatakan bahwa karang lebih suka pada
suhu perairan rata-rata 23 – 25 oC, namun Hoegh-Guldberg (1999)
menemukan pula karang dapat hidup pada suhu 18 – 30 oC, dan menurut Sukarno dkk. (1983) mengatakan
bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25-280C.
Kedalaman;
pertumbuhan terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman dimana terumbu di daerah Indo-Pasifik kebanyakan tumbuh pada
kedalaman 25 m atau kurang (Levinton, 1982), dan pada daerah Karibia terumbu
hermatipik berkembang dengan baik pada kedalaman di bawah 70 meter,
Salinitas
perairan; karang dapat hidup pada kisaran salinitas 32-35 0/00.
Toleransi karang batu terhadap salinitas cukup tinggi yang dapat berkisar
antara 27-400/00 (DKTNL, 2006). Kekeruhan dan sedimentasi; kekeruhan dan sedimentasi yang
tinggi dapat menghambat pertumbuhan karang. Respon bentuk pertumbuhan karang
terhadap tingkat kekeruhan berbeda-beda, sebagaimana pernyataan yang
dikemukakan Done (1982) dalam Babcock and Smith (2000), yang menyatakan pada terumbu yang keruh
sering didominasi oleh bentuk pertumbuhan massif, yang mana untuk perairan
jernih dicirikan oleh bentuk pertumbuhan bercabang, yang umumnya dari Famili
Acroporiidae,
Pergerakan
air (arus) diperlukan untuk tersedianya aliran yang membawa masukan makanan dan
oksigen serta menghindarkan karang dari pengaruh sedimentasi Selain faktor-faktor kimia dan
fisik yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan dan atau laju pertumbuhan
karang antara lain cahaya matahari, suhu, salinitas dan sedimen. Sedangkan
faktor biologis biasanya berupa predator atau pemangsanya (Supriharyono, 2000).
5. Tipe dan Bentuk Terumbu Karang
Terumbu karang dibangun
dengan proses yang sama tetapi secara geomorfologi dibentuk berdasarkan dimana
mereka tumbuh dan sejarah permukaan laut. Umumnya, kebanyakan terumbu karang
telah terbentuk kurang dari 10.000 tahun yang lalu setelah kenaikan permukaan
air laut yang disertai dengan pencairan es yang menyebabkan banjir pada paparan
benua. Ketika terumbu karang terbentuk, mereka mulai membangun bentang terumbu
keatas bersamaan dengan menaiknya permukaan
air laut. Geomorfologi dari terumbu disebabkan oleh dua faktor utama: kenaikan
permukaan air laut relatif dan bentuk substrat dasar.
Gambar 4.
Anatomi hewan karang (Nybakken, 1992)
Berdasarkan
pertumbuhannya, karang batu (Scleractinian)
yang dapat membentuk terumbu dibagi menjadi Acropora and non-Acropora
(English et al., 1994). Perbedaan utama antara Acropora and non-Acropora
berdasarkan struktur rangkanya. Beberapa bentuk pertumbuhan karang non-Acropora:
1.
Bentuk bercabang (branching), yang memiliki cabang lebih panjang dari
diameternya. Banyak terdapat di
sepanjang tepi terumbu dan bagian atas dari
lereng
terumbu, terutama yang terlindungi atau
setengah terbuka, memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata
tertentu.
2.
Bentuk padat (massive), yang berbentuk seperti bola dengan ukuran yang
bervariasi, permukaannya halus dan padat.
Biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng
terumbu yang belum rusak.
Terumbu
jenis ini memberikan perlindungan yang sangat baik serta berperan sebagai
daerah mencari makan (feeding ground)
bagi ikan dan hewan-hewan lain.
3.
Bentuk kerak (encrusting), yang tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan
yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil. Banyak terdapat pada lokasi terbuka dan
berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Merupakan tempat berlindung untuk hewan-hewan
kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang.
4.
Bentuk meja (tabulate), yang menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan
datar. Karang ini ditopang dengan batang
yang berpusat atau bertumpu pada sisi membentuk sudut atau datar
5.
Bentuk daun (foliaceous), yang tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang
menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau
melingkar. Banyak terdapat pada lereng
terumbu dan daerah-daerah yang terlindung, memberikan perlindungan bagi ikan
dan hewan lainnya.
6.
Bentuk jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur besar, memiliki
tonjolan seperti punggung bukit
beralur dari tepi hingga pusat mulut.
7.
Karang api (Millepora), dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung
koloninya dan rasa panas apabila tersentuh
8.
Karang biru (Heliopora), memiliki warna biru pada skeletonnya.
9.
Berbentuk pipa (Tubifora), koloninya membentuk pipa yang tersusun ke atas dan kesamping
dengan warna merah pada skeletonnya.
Khusus untuk karang
golongan acropora memiliki
bentuk-bentuk sebagai berikut, seperti yang diperlihatkan pada gambar.
1.
Acropora bercabang (acropora branching), berbentuk cabang seperti ranting pohon.
2.
Acropora meja (acropora tabulate), memiliki bentuk bercabang dengan arah mendatar seperti meja.
3.
Acropora merayap (acropora encrusting), memiliki bentuk merayap, biasanya
merupakan bentuk acropora yang belum
sempurna.
4.
Acropora submasif (acropora submassive), memiliki cabang lempeng yang kokoh.
5.
Acropora berjari (acropora digitate), memiliki cabang yang rapat yang
menyerupai jari-jari.
Gambar 5. Bentuk pertumbuhan terumbu karang (English et al., 1994).
2.6
Penyebab Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Menurut
DKTNL
(2006) kerusakan ekosistem terumbu karang dapat digolongkan menjadi 4 faktor yakni :
a. Akibat faktor biologis : 1). Predasi,
2). Penyakit,
3). Bioerosi
b. Akibat faktor fisik : 1). Kenaikan
suhu air laut dan Pasang
surut, 2). Radiasi
sinar ultraviolet,
3). Penurunan salinitas, 4).Gunung berapi, Gempa bumi
dan Tsunami,
5). Taifun atau
Badai
c. Akibat aktivitas manusia secara
langsung : 1). Penambangan
Karang
dan Pasir,
2). Pengeboman
karang, 3). Penggunaan sianida,
4). Penangkapan
ikan dengan bubu dan
jangkar perahu, 5). Kegiatan pariwisata
d. Akibat aktivitas
manusia secara tidak
langsung : 1). Sedimentasi,
2). Pencemaran
3). Tumpahan
minyak bumi
Menurut Dahuri dkk.
(2001)
faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang di wilayah pesisir dan lautan
Indonesia, antara lain:
1. Penambangan
batu karang untuk bahan bangunan, pembangunan jalan dan dijual sebagai hiasan (ornament) pada akuarium.
1.
Penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan peledak, bahan beracun, dan alat tangkap yang pengoperasiannya dapat
merusak terumbu karang.
3. Pencemaran perairan oleh
berbagai limbah industri, pertanian dan rumah tangga baik yang berasal dari
kegiatan di darat (land based activity),
maupun kegiatan di laut (marine based
activity).
4. Pengendapan (sedimentasi) dan
peningkatan kekeruhan perairan dalam ekosistem terumbu karang akibat erosi
tanah di daratan maupun kegiatan penggalian dan penambangan disekjitar terumbu
karang.
5. Eksploitasi
berlebihan sumberdaya perikanan karang.
6. Kerusakan karang akibat penancapan
jangkar/sauh dari kapal-kapal
Berdasarkan
analisis terhadap masalah terumbu karang oleh Ikawati dkk. (2001),
bahwa beberapa permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu
karang berasal dari kegiatan manusia (antropogenik) dan (non-antropogenik)
yaitu:
a. Kerusakan
terumbu karang karena kegiatan manusia (antropogenik) adalah kerusakan terumbu
karang karena ulah manusia dalam pengambilan sumberdaya yang tidak mempertimbangkan
kelestarian sumberdaya itu sendiri dan populasi yang berlebihan karena berbagai
limbah, apabila dikelompokkan baik secara langsung maupun tidak langsung adalah
sebagai berikut:
- Penambangan atau pengambilan karang
Penangkapan
ikan: menggunakan bahan peledak, menggunakan racun, menggunakan bubu,
menggunakan jaring, dan eksploitasi berlebih
- Pencemaran: minyak bumi, limbah
industri dan rumah tangga
- Pengembangan daerah wisata
- Pembangunan wilayah
- Sedimentasi
Kerusakan terumbu karena alam (non-antropogenik):
pemanasan global (global warming),
bencana alam seperti angin topan (storm),
gempa tektoni (earth queke),
banjir (floods) dan tsunami serta
fenomena alam lainnya seperti El-Nino, La-Nina, Pemangsa karang/ Crowns of Thorn (Acanthaster planci).