Program Studi Ilmu Kelautan
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Analisa Kelayakan Usaha
Penangkapan Ikan Dengan Alat Tangkap
Jaring Insang (Gillnet)
Di Pantai Jakat Kota Bengkulu
Memahami Tentang Perkembangan Psikologi Remaja
Secara
tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan topan”, suatu masa
dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar. Ciri perkembangan psikologis remaja adalah adanya emosi yang
meledak-ledak, sulit dikendalikan, cepat depresi (sedih, putus asa) dan
kemudian melawan dan memberontak. Emosi tidak terkendali ini disebabkan oleh
konflik peran yang senang dialami remaja. Oleh karena itu, perkembangan
psikologis ini ditekankan pada keadaan emosi remaja.
Keadaan emosi pada masa remaja masih labil karena erat dengan keadaan hormon. Suatu saat remaja dapat sedih sekali, dilain waktu dapat marah sekali. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri sendiri daripada pikiran yang realistis. Kestabilan emosi remaja dikarenakan tuntutan orang tua dan masyarakat yang akhirnya mendorong remaja untuk menyesuaikan diri dengan situasi dirinnya yang baru. Hal tersebut hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1990), yang mengatakan bahwa kecerdasan emosi akan mempengaruhi cara penyesuaian pribadi dan sosial remaja. Bertambahnya ketegangan emosional yang disebabkan remaja harus membuat penyesuaian terhadap harapan masyarakat yang berlainan dengan dirinya.
Menurut Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarag, remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan psikologis pada remaja, terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat.
Keadaan emosi pada masa remaja masih labil karena erat dengan keadaan hormon. Suatu saat remaja dapat sedih sekali, dilain waktu dapat marah sekali. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri sendiri daripada pikiran yang realistis. Kestabilan emosi remaja dikarenakan tuntutan orang tua dan masyarakat yang akhirnya mendorong remaja untuk menyesuaikan diri dengan situasi dirinnya yang baru. Hal tersebut hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1990), yang mengatakan bahwa kecerdasan emosi akan mempengaruhi cara penyesuaian pribadi dan sosial remaja. Bertambahnya ketegangan emosional yang disebabkan remaja harus membuat penyesuaian terhadap harapan masyarakat yang berlainan dengan dirinya.
Menurut Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarag, remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan psikologis pada remaja, terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat.
Pengendalian Diri Bagi Remaja
Perubahan-perubahan sosial yang cepat (rapid
sosial change) sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu
pengetahuan, dan teknologi telah mempengaruhi perilaku, nilai-nilai moral,
etika, dan gaya hidup (value sistem and way of life).
Keberadaan hawa nafsu disamping memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia, juga dapat melahirkan madlarat
(ketidaknyamanan, atau kekacauan dalam kehidupan, baik personal maupun sosial).
Kondisi ini terjadi apabila hawa nafsu tidak dikendalikan atau dikontrol,
karena memang sifat yang melekat pada hawa nafsu adalah mendorong
(memprovokasi) manusia kepada keburukan atau kejahatan (dalam Psikologi Belajar
Agama, 2003).
Menurut Fachrurozi (dalam Jawa Pos, 2004)
kegilaan masyarakat saat ini adalah personifikasi atas kegilaan yang dialami
sebagai implikasi dari modernitas, bahwa modernitas, disamping melahirkan
kemajuan dalam berbagai aspek (teknologi informasi, ekonomi, politik, sosial,
dan budaya), ternyata juga melahirkan kegilaan atau gangguan kejiwaan.
Diharapkan setiap individu mampu mengontrol diri terhadap setiap perubahan yang
terjadi.
Tindakan-tindakan tidak terkontrol sering
dikaitkan dengan remaja, karena seringkali bentuk perkelahian dilakukan oleh para
remaja, sehingga perkelahian antar remaja sudah menjadi fenomena yang biasa di
masyarakat luas terutama di kota-kota besar, perkelahian ini biasanya dipicu
oleh masalah-masalah yang sepele, seperti bersenggolan di jalan, atau saling
pandang yang ditafsirkan sebagai bentuk menantang, dan biasanya berakhir dengan
perkelahian, perkelahian antar remaja pada awalnya hanya melibatkan dua
individu kemudian berkembang menjadi perkelahian antar kelompok.
Menurut Lewin (dalam Winarno, 2003) kondisi
tersebut dikarenakan dalam kelompok terdapat sifat interdependen antar anggota
dan kondisi seperti itu berpeluang menjadi konflik SARA, dikarenakan Indonesia
terdiri berbagai macam suku, agama, ras, yang berbeda-beda, sehingga individu
akan merasa cemas, tidak aman, dan mudah tersulut emosi bila kontrol diri
individu kurang. Oleh karena itu, kontrol diri diperlukan untuk mengontrol
emosi yamg berasal dari dalam dan luar individu sebagai bentuk sosialisasi yang
wajar.
Menurut Drever, kontrol diri adalah kontrol atau
pengendalian yang dijalankan oleh individu terhadap perasaan-perasaan,
gerakan-gerakan hati, tindakan-tindakan sendiri, sedangkan Goleman (dalam
Sarah, 1998) mengartikan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk
menyesuaikan dan mengendalikan dengan pola sesuai dengan usia. Bander (dalam
Sarah, 1998) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam
mengendalikan tindakan yang ditandai dengan kemampuan dalam merencanakan hidup,
maupun frustasi-frustasi dan mampu menahan ledakan emosi. Masa-masa remaja
ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat
mengkontrol dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut
emosinya atau tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga
sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang dilakukannya.
Maraknya Tindak Kekerasan Dalam Berpacaran
Pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang
diwarnai keintiman dimana satu sama lain terlibat dalam perasaan cinta dan
saling mengakui pasangannya sebagai pacar. Melalui berpacaran seseorang akan
mempelajari mengenai perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan
berbagi dalam hubungan dengan orang lain. Salah satu tugas perkembangan dewasa
muda adalah berkisar pada pembinaan hubungan intim dengan orang lain.
Namun pada kenyataannya, seringkali terjadi bahwa pacaran yang dilakukan remaja dapat menjurus kepada hal-hal yang negatif, misalnya pacaran diiringi dengan perilaku seksual pranikah, kekerasan dalam berpacaran, bahkan tidak jarang terjadi kasus-kasus pembunuhan, perkosaan hingga maraknya kasus-kasus hubungan seksual yang direkam melalui handphone. Salah satu fenomena yang saat ini semakin banyak muncul pada hubungan berpacaran adalah kekerasan dalam pacaran (KDP).
Namun pada kenyataannya, seringkali terjadi bahwa pacaran yang dilakukan remaja dapat menjurus kepada hal-hal yang negatif, misalnya pacaran diiringi dengan perilaku seksual pranikah, kekerasan dalam berpacaran, bahkan tidak jarang terjadi kasus-kasus pembunuhan, perkosaan hingga maraknya kasus-kasus hubungan seksual yang direkam melalui handphone. Salah satu fenomena yang saat ini semakin banyak muncul pada hubungan berpacaran adalah kekerasan dalam pacaran (KDP).
Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan
Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, yakni, dari 263 kasus
kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (sekitar 242 orang). Dimana
sepertiganya merupakan kekerasan dalam pacaran (KDP). Sementara itu, kasus
kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan pun menjadi kasus dominan yang
ditangani Rifka Annisa Women`s Crisis Center asal Yogyakarta, setelah kekerasan
terhadap istri. Selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang terungkap, sekitar 26 % di antaranya adalah kekerasan dalam
pacaran (KDP) dan perkosaan. Rifka Annisa (2002) mencatat bahwa kekerasan
terhadap perempuan yang terjadi antara bulan Januari-Juli 2002 tercatat
sebanyak 248 kasus. Dimana 60 kasus merupakan kekerasan pada masa pacaran (KDP)
dan perkosaan 30 kasus.
Fenomena kekerasan dalam pacaran (KDP) sebenarnya
seperti gunung es. Sebab, angka-angka tersebut hanya berdasar pada jumlah kasus
yang dilaporkan, padahal dalam kenyataannya, tidaklah mudah bagi korban
kekerasan melaporkan kasus yang dialaminya.
Kekerasan dalam Pacaran (KDP)
Kekerasan dalam Pacaran (KDP)
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang
terjadi di dalam rumah tangga (Domestic Violence), namun masih sedikit yang
peduli pada kekerasan yang terjadi berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP)
atau Dating Violence). Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah
mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang
penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya
tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar.
Kekerasan dalam Pacaran (KDP) adalah perilaku atau tindakan seseorang dapat disebut sebagai tindak kekerasan dalam percintaan atau pacaran apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya pada hubungan pacaran. Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar maka ini bisa digolongkan tindak kekerasan dalam pacaran (KDP).
Kekerasan dalam Pacaran (KDP) adalah perilaku atau tindakan seseorang dapat disebut sebagai tindak kekerasan dalam percintaan atau pacaran apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya pada hubungan pacaran. Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar maka ini bisa digolongkan tindak kekerasan dalam pacaran (KDP).
Sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh
perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan
yang dilakukan oleh pacarnya. Tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban
dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya
ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat
luas. Ketidakadilan dalam hal jender selama ini telah terpatri dalam kehidupan
sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah,
penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya,
sehingga dirasa “pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.
Payung hukum terhadap terjadinya tindak kekerasan
terhadap perempuan, sebetulnya sudah cukup terakomodasi melalui UU No. 23 tahun
2004 tentang KDRT. Namun untuk kekerasan dalam pacaran (KDP), belum ada payung
hukum khusus, dan masih menggunakan KUHP sebab dianggap kasus kriminal biasa.
Kekerasan dalam pacaran (KDP) bisa masuk dalam KDRT, karena kekerasan yang
terjadi dalam relasi domestik, antara laki-laki dan perempuan yang memiliki
hubungan khusus.
Hal yang khas yang sering muncul dalam kasus
kasus kekerasan dalam pacaran adalah bahwa korban biasanya memang cenderung
lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Apalagi karena
sang pacar, setelah melakukan kekerasan (menampar, memukul, nonjok, dll)
biasanya setelah itu menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak
akan mengulangi tindakan kekerasan lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya.
Pada dasarnya, hubungan pacaran adalah sarana melatih keahlian individu dalam kepekaan,
empati, kemampuan untuk mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik serta
kemampuan untuk mempertahankan komitmen. Jika individu mampu mengkomunikasikan
emosi dan menyelesaikan konflik dengan baik niscaya kekerasan dalam pacaran
(KDP) tidak akan terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis menduga bahwa
salah satu penyebab terjadi kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah rendahnya
tingkat asertivitas individu. Rendahnya asertivitas tersebut tampak ketika
individu cenderung menerima segala bentuk perlakuan oleh pasangannya, meskipun
sebetulnya individu merasa tersiksa. Asertif berfungsi sebagai
mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik dalam berpacaran.
Memahami Tentang Perkembangan Psikologi Remaja
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai
periode “badai dan topan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai
akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Ciri perkembangan psikologis remaja
adalah adanya emosi yang meledak-ledak, sulit dikendalikan, cepat depresi
(sedih, putus asa) dan kemudian melawan dan memberontak. Emosi tidak terkendali
ini disebabkan oleh konflik peran yang senang dialami remaja. Oleh karena itu,
perkembangan psikologis ini ditekankan pada keadaan emosi remaja.
Keadaan emosi pada masa remaja masih labil karena
erat dengan keadaan hormon. Suatu saat remaja dapat sedih sekali, dilain waktu
dapat marah sekali. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri sendiri
daripada pikiran yang realistis. Kestabilan emosi remaja dikarenakan tuntutan
orang tua dan masyarakat yang akhirnya mendorong remaja untuk menyesuaikan diri
dengan situasi dirinnya yang baru. Hal tersebut hampir sama dengan yang
dikemukakan oleh Hurlock (1990), yang mengatakan bahwa kecerdasan emosi akan mempengaruhi
cara penyesuaian pribadi dan sosial remaja. Bertambahnya ketegangan emosional
yang disebabkan remaja harus membuat penyesuaian terhadap harapan masyarakat yang
berlainan dengan dirinya.
Menurut Mappiare (dalam
Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima
pendapat dan perintah orang lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu
perintah dianjurkan atau dilarag, remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan
pemikiran yang logis. Dengan perkembangan psikologis pada remaja, terjadi
kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat dan
memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat.
Pengendalian Diri Bagi Remaja
Perubahan-perubahan sosial yang cepat (rapid sosial change) sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi telah mempengaruhi perilaku, nilai-nilai moral, etika, dan gaya hidup (value sistem and way of life).
Keberadaan hawa nafsu disamping memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, juga dapat melahirkan madlarat (ketidaknyamanan, atau kekacauan dalam kehidupan, baik personal maupun sosial). Kondisi ini terjadi apabila hawa nafsu tidak dikendalikan atau dikontrol, karena memang sifat yang melekat pada hawa nafsu adalah mendorong (memprovokasi) manusia kepada keburukan atau kejahatan (dalam Psikologi Belajar Agama, 2003).
Menurut Fachrurozi (dalam Jawa Pos, 2004) kegilaan masyarakat saat ini adalah personifikasi atas kegilaan yang dialami sebagai implikasi dari modernitas, bahwa modernitas, disamping melahirkan kemajuan dalam berbagai aspek (teknologi informasi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya), ternyata juga melahirkan kegilaan atau gangguan kejiwaan. Diharapkan setiap individu mampu mengontrol diri terhadap setiap perubahan yang terjadi.
Tindakan-tindakan tidak terkontrol sering dikaitkan dengan remaja, karena seringkali bentuk perkelahian dilakukan oleh para remaja, sehingga perkelahian antar remaja sudah menjadi fenomena yang biasa di masyarakat luas terutama di kota-kota besar, perkelahian ini biasanya dipicu oleh masalah-masalah yang sepele, seperti bersenggolan di jalan, atau saling pandang yang ditafsirkan sebagai bentuk menantang, dan biasanya berakhir dengan perkelahian, perkelahian antar remaja pada awalnya hanya melibatkan dua individu kemudian berkembang menjadi perkelahian antar kelompok.
Menurut Lewin (dalam Winarno, 2003)
kondisi tersebut dikarenakan dalam kelompok terdapat sifat interdependen antar
anggota dan kondisi seperti itu berpeluang menjadi konflik SARA, dikarenakan
Indonesia terdiri berbagai macam suku, agama, ras, yang berbeda-beda, sehingga
individu akan merasa cemas, tidak aman, dan mudah tersulut emosi bila kontrol
diri individu kurang. Oleh karena itu, kontrol diri diperlukan untuk mengontrol
emosi yamg berasal dari dalam dan luar individu sebagai bentuk sosialisasi yang
wajar.
Menurut Drever, kontrol diri adalah kontrol atau
pengendalian yang dijalankan oleh individu terhadap perasaan-perasaan,
gerakan-gerakan hati, tindakan-tindakan sendiri, sedangkan Goleman (dalam
Sarah, 1998) mengartikan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk
menyesuaikan dan mengendalikan dengan pola sesuai dengan usia. Bander (dalam
Sarah, 1998) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam
mengendalikan tindakan yang ditandai dengan kemampuan dalam merencanakan hidup,
maupun frustasi-frustasi dan mampu menahan ledakan emosi. Masa-masa remaja
ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat
mengkontrol dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut
emosinya atau tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga
sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang dilakukannya.
Langganan:
Postingan (Atom)