Untuk dapat menikmati hidup, hal
terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti
kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran.
Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan “tertidur.” Mereka
lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya
meninggal dalam keadaan “tertidur”.
Analoginya adalah seperti orang yang
terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis
nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak
dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan
robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang,
dan harta benda.
Pengertian menyadari amat berbeda dengan
mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda
tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah,
tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan
keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi
tidak sadar!
Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama,
peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah
“rahmat terselubung” karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda
baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar
pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan. Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK.
Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting
setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita
bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.
Kematian mungkin merupakan satu stimulus
terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal
begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling
menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal.
Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang
berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop
berkata, “Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!” Anda protes,
bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga
hanya berkata tegas, “Pertunjukan sudah selesai, listriknya tidak akan
pernah hidup kembali”.
Itulah analogi sederhana dari kematian.
Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering
menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada
betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal
sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat
kita nikmati.
Hidup ini seringkali menipu dan
meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga
hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita
akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan
kita dan melakukan kontemplasi.
Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang
filsuf Perancis, Teilhard de Chardin, “Kita bukanlah manusia yang
mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual
yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.” Manusia bukanlah
“makhluk bumi” melainkan “makhluk langit.” Kita adalah makhluk spiritual
yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita
sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan
karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi,
tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan
lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan “rumah” untuk mencari
“rumah” yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak pernah
mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.
Coba Anda resapi paragraf diatas
dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau
Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan
serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan
kebutuhan dasar lainnya. Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan
tersebut, itu sudah cukup!
Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulkan
kekayaan apalagi dengan menyalahgunakan jabatan kalau hasilnya tidak
dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda
sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi.
Lantas, apakah kita perlu mengalami
sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar?
Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada
cara kedua yang jauh lebih mudah:
Belajarlah MENDENGARKAN. Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.
Belajarlah MENDENGARKAN. Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.
Sumber: Emotivasi