Pernahkah suatu kali kita menemui bahwa ternyata secara tak sengaja
telah tersakiti hati orang-orang lain di sekitar kita. Kita melangkah
memulai hari tanpa mengerti bahwa kemarin, dua hari lalu, atau hari-hari
sebelumnya lagi, entah berapa banyak orang yang tak berkenan dengan apa
yang telah kita lakukan. Walau tanpa sadar, walau tak bermaksud
demikian, namun hati yang terlanjur tersakiti, sulit tuk dipulihkan
lagi.
Suatu kali, saat menjalani tingkat pertama perkuliahan, seseorang pernah berkata pada saya, “Kamu galak banget ya?” Ups! Saat
itu saya benar-benar kaget. Galak? Ya, mungkin juga sih. Rasanya saya
memang tidak pernah seperti si A, teman saya, yang bisa dengan ramainya
berkicau menyapa setiap orang yang ia lewati di lorong kampus.
Kemudian saya pun bertanya lebih lanjut, mencoba memahami “complain” yang saya terima hari itu.
Teringat waktu kelas dua SMU dulu. Saat saya dan teman-teman lain
menjadi pengurus OSIS SMU. Berkutat dengan pelajaran, sekaligus
aktivitas kepengurusan, setiap hari rasanya ada saja bahan rapat
sepulang sekolah. Capek? Sudah pasti. Tapi entah kenapa saya menyukai
semua aktifitas itu. Sepertinya bila hari belum gelap, belum waktunya
untuk pulang ke rumah.
Tanpa sadar, aktifitas ini itu di sekolah serta tuntutan harus mencapai nilai-nilai yang baik, plus beberapa permasalahan yang juga saya hadapi di rumah, membuat sedikit tekanan yang akhirnya terbawa pada perilaku. Saya mungkin tak menyadari, tapi tidak dengan yang lain.
Hari itu, saya dan teman-teman sedang duduk-duduk di depan sekolah.
Tiba-tiba teman saya memanggil, “Kamu dicariin tuh, sama anak kelas
1-5.” Saya menoleh ke belakang, rupanya sedari tadi sudah berdiri dua
orang anak kelas satu. Dua-duanya saya kenal, mereka anak-anak kelas
satu yang rajin menghadiri acara Keputrian tiap Jumat. “Kenapa, dek?”
tegur saya. Mereka mendekat, salah satunya menyodorkan sebuah buku, “Ng…
ini kak, mau kembaliin bukunya. Maaf kelamaan minjemnya,” katanya
dengan suara sangat pelan. Saya mengangguk sambil tersenyum kecil, dan
mengambil buku tersebut. Mereka lantas lekas pergi setelah mengucapkan
salam. Kemudian seorang teman saya yang lain berkata, “Eh, kemarin
mereka nanya ke aku, tentang kamu.” Saya menatapnya heran, “Tanya apa?”
“mereka tanya, “Kakak yang itu, maksudnya kamu, galak nggak sih?” Saya
terhenyak. Pantas, tadi tampaknya mereka menghampiri dengan raut
takut-takut dan suara nyaris tak terdengar. Saya berusaha keras
mengingat-ingat, apa sih yang sudah saya lakukan sampai-sampai adik
kelas takut kepada saya. Lalu saya hanya bisa nyengir pahit, karena saya
tak berhasil mengingat apapun.
Pernahkah kita menyadari bahwa bisa jadi hari ini kita telah
mengecewakan banyak orang? Kita mengira bahwa hari ini telah dilewati
dengan lancar tanpa gangguan dan kita akhiri hari dengan tidur nyenyak.
Namun ternyata tadi pagi, saat kita lupa mencium tangan orang tua untuk
pamit, terbersit sedikit kecewa di hati mereka. Tadi pagi, saat membayar
ongkos bis, kita memberikannya dengan sodoran yang kasar hingga pak
kondektur bis bertambah lelah dan penatnya bahkan merasa terhina. Tadi
pagi, saat masuk ruangan kantor, kita lupa menyapa dan memberi salam dan
senyum pada pak satpam dan beberapa teman yang sudah datang, hingga
yang kita suguhkan hanyalah wajah lelah sehabis turun naik bis dan kerut
kening pertanda banyak kerjaan kantor yang harus diselesaikan hari itu.
Pernahkah terpikir oleh kita, bahwa sedikit kesan tak enak yang orang
lain tangkap dari tingkah laku kita, dapat membekas begitu dalam tanpa
kita menyadarinya.
Membuat mereka merasa sedih, kecewa, kesal, atau bahkan marah pada kita. Tanpa kita menyadari, bahwa hari itu telah kita lewati dengan menyakiti hati begitu banyak orang. Dan saat hati-hati mereka telah luka, rasanya tak lagi berarti permohonan maaf kita saat kita ucapkan, “I didn’t mean to…”
Kesalahan yang tak disengaja, terkadang membuat kita sendiri heran.
Kapan ya saya melakukan hal itu? Benar tidak ya, saya telah bersikap
kasar padanya? Ah, saya kan tidak bermaksud begitu. I didn’t mean to.
Dan sekian banyak pemaafan yang kita ukir untuk diri kita sendiri, tanpa
peduli orang tersebut masih merasakan sakitnya hingga kini.
Tak usahlah lagi alasan itu dicari. Mari mulai memperbaiki, mulai
saat ini. Sebab kita tak pernah tahu kapan diri kita pernah menyakiti.
Sumber: Emotivasi